Tuesday 27 October 2009

qiyas

QIYAS

A. Definisi Qiyas
Qiyas menurut istilah ahli Ilmu ushul fiqih adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dengan illat hukumnya.
Apabila ada nash yang menunjukan hukum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui illat hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk mengetahui illat hukum, kemudian terjadi peristiwa lain yang sama illat hukumnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan sebab meliki kesamaan dalam hal illat hukumnya itu sudah ditemukan.
Berikut ini beberapa contoh Qiyas syara’ dan Qiyas buatan yang mempertegas depinisi diatas:
1. Meminum khamer adalah peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan dengan nash, yaitu haram. Ditunjukan oleh pirman Allah SWT:
              

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90).
Dengan illat memabukan, maka semua hasil perasan (minuman) yang mempunyai illat yang memabukan hukumnya disamakan dengan khamer dan haram diminum.
2. Pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskan adalah peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan dengan nash, yaitu berhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan haq waris. Ditunjukan oleh sabda nabi Saw:


seorang pembunuh tidak mendapatkan harta warisan (dari yang dibunuh), dengan illat bahwa pembunuhan itu memajukan sesuatu sebelum waktunya, maka tujuan itu ditolak dan dihukum tidak mendapat bagian waris. Pembunuhan pemberi wasiat oleh yang menerima wasiat memiliki illat ini, sehingga mewariskan oleh ahli waris, dan pembunuh (penerima wasiat) tidak mendapatkan bagian yang diwasiatkan dari orang-orang yang berwasiat.

B. Kehujjahan Qiyas
Tidak perlu diragukan bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat, karena argumentasinya didasarkan oleh prinsip berfikir manthiq yang logis, disamping ayat Al Qur an yang dijadikan dalil adalah firman Allah:
                              

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS. An Nisa: 59)

Ayat diatas menjadi dasar hukum Qiyas, sebab maksud dari ungkapan “kembali dari Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain adalah perintah supaya menyilidiki tanda-tanda kecendrungan; apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan Qiyas.
Sesungguhnya Al Qur an mengisyaratkan adanya illat hukum, bahkan dalam menetapkan beberapa hukum telah disebutkan illatnya serta tujuannya secara tegas. Sebagai missal dalam qishash, dimaksudkan untuk menjamin haq hidup sebagaimana firman Allah:
       
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 179)

C. Unsur-Unsur Qiyas
Semua Qiyas terdiri dari empat unsur
1. Al Ashlu, kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash. Disebut juga al Maqis ‘alaih, al Mahmul ‘alalih, dan al musyabah bih (yang digunaakan sebagai ukuran, perbandingan atau dipakai untuk menyamakan.
2. Al Far’u, kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah untuk diasamakan dengan al Ashlu dalam hukumnya. Disebut juga al Maqis, al Mahmul dan al Musyabah (yang diukur, dibandingkan dan disamakan).
3. Al Hukmul Ashliy, hukum syara’ yang dibawa oleh nash dalam masalah asal. Tujuan adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
4. Al ,Illah, alas an yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang berdasarkan adanya illat itu pada masalah baru maka masalah baru itu disamakan dengan masalah asal dalam hukumnya.
D. Pertentangan Qiyas Dengan Nash
Bila diperhatikan secara seksama ketiga pendapat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya pertentangan antara Qiyas dan nash, diantaranya ada yang cenderung mengutamakan Qiyas dan yang sebaliknya, atau pendapat yang tengah-tangah, ternyata dari data yang ada bahwa unsur pertentangan itu terjadi manakala nash-nash yang berupa Al Qur an atau hadist itu bersifat umum. Atau unsur pertentangan antara Qiyas dan nash itu bisa terjadi mana kala nash hukumnya bereupa hadist ahad.
1. Pertentangan Qiyas Dengan Lafazh ‘Am
Ulama hanafiah berpendapat bahwa sesunggahnya lafazh umum (‘am) itu qoth’i dalalah, menunjukan pada ketetapan hukum secara jelas dan tegas. Sedangkan Qiyas, bagaimanapun bentuknya tetap saja bersifat zhanni, tuidak jelas penunjukan hukumnya, keuali apabila illat hukum ditetapkan dengan nash yang qoth’i. ‘illit hukum yang ditetapkan dengan nash qoth’i tersebut kemungkinan akan bertentangan dengan lafaz umum yang oleh ulama hanafiah bersifat qoth’i itu, sehingga yang terjadi bukanlah pertentangan antara Qiyas yang bersifat zhanni itu dengan lafaz umum(‘am) tetapi pertentangan antara dua dalil yang sama-sama bersifat qoth’i.
Disini para ulama hanafiah berkata bahwa boleh mentakhsis lafaz umum dengan Qiyas, dengan syarat telah ditakhsis lebih dulu dengan dalil takhsis. Sebagaimana contoh dalam firman Allah :


“Dan dihalalkan bagi kamu selain selain yang demikian ... (mengawini wanita-wanita selain wanita-wanita yang tersebut dalam ayat 23 dan 24 surat an Nisa).

Ayat tersebut ditakhsis dengan hadist nabi:


“tidak boleh mengawini seorang wanita beserta anak perempuan saudara laki-lakinya, demikian juga mengawini wanita beserta anak perempuan saudara perempannya” (memadu perempuan bibi keponakan).


2. Pertentangan Qiyas Dengan Hadist Ahad
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa imam syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah tidak mengutamakan Qiyas dari hadist ahad, Imam Abu Hanifah menggunakan hadist ahad sebagai dasar hukum, misalnya hadist tentang makan minum karena lupa (tidak membatalkan puasa). Bahkan secara lebih ekstrim dia mengatakan “seandaintya tidak ada hadist ahad kamiupun tetap meninggalkan Qiyas.” Dia juga menggunakan hadist tentang batalnya wudhu seorang yang tertawa latah dalam shalatnya, sebaliknya meninggalkan Qiyas: batal shalatnya dan bukan batal wudhunya. Selanjutnya dia bahkan menggunakan fatwa shahabat dalam hal yang bertentangan dewngan Qiyas.









DAFTAR PUSTAKA


Wahab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Aman, Jakarta, 2003
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Fustaka Firdaus, Jakarta, 2007
Departemen Agama RI, Al-Qur an Dan Terjema, Mahkota, Surabaya.

No comments:

Post a Comment