Monday 26 October 2009

Manthuq dan Mafhum

BAB I
PENDAHULUAN

Objek ushul fiqih adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan methodologi yamg dipergunakan oleh ahli fiqih didalam menggali hukum syara’ sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar.
Ilmu ushul fiqih selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah SWT. Karena pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum-hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Sedangkan dalil-dalil yang ada hanyalah berfungsi sebagai saran untuk mengetahui hukum-hukum Allah Al-Qur’an-lah yang menyatakan hukum-hukum Allah terhadap manusia, sementara Hadist berfungsi sebagai penjelasan Al-Qur’an. Karena Rasulullah SAW. tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang lain adalah merupakan cabang yang menginduk pada kedua sumber tersebut.
Disini sedikit kami uraikan sebagian dari permasalan ilmu ushul fiqih, yaitu manthuq dan mafhum agar dalam menggali hukum-hukum syara’ tidak keluar dari jalurnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manthuq dan Mafhum
Manthuq ialah hukum yang di ucapkan oleh lafad itu sendiri
Mafhum ialah hukum yang tidak ditujukan oleh ucapan lafad itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafad tersebut.

B. Pembagian Manthuq
Manthuq dibagi menjadi 2 :
1. Nash yaitu perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan lagi.
2. Zhahir yaitu sesuatu perkataan yang menunjukan sesuatu makna, tetapi makna itu bukan yang dimaksud.
Kalau ada suatu perkataan dapat difahamkan menurut arti yang terang (zhahir) dan juga bisa diartikan menurut arti yang kurang terang, maka yang harus dipakai adalah makna yang terang selama tidak ada alasan untuk meninggalkan makna tersebut.
Kalau perkataan zhahir tersebut berupa lafad Am, maka ada kemungkinan ditakhsiskan, kalau mutlaq mungkin ditaqyidkan, kalau mempunyai arti yang hakiki mungkin yang dimaksudkannya adalah arti majazi.

C. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi 2 :
1. Mafhum muwafaqoh yaitu apabila hukum yang diharamkan sama dengan hukum yang ditujukan oleh bunyi lafad
Mafhum muwafaqoh ini dibagi dua :
a. Fahwal kitab yaitu apabila difahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan, seperti memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan firman Allah “jangan mengeluarkan kata-kata yang keji terhadap orang tua” (Al-isra’ : 23). Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukul.

b. Ahnul kitab yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkannya, seperti membakar harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah : “mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan jalan aniaya sebenarnya makan api kedalam perutnya” (An-Nisa : 10). Jadi membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakannya yaitu tidak boleh (haram).
2. Mafhum mukholafah yaitu apabila yang difahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun naïf. Jadi yangdifahamkan selalu kebalikan hokum dari bunyi lafad yang diucapkan mafhum mukholafah ini disebut juga dalil kitab.

D. Syarat-Syarat Mafhum Mukholafah
Untuk sahnya mafhum mukholafah diperlukan beberapa syarat :
1. Mafhum mukholafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqoh.
Contoh yang berlawanan dengan dalil manthuq :

     
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (Al-isra : 31)
Mafhumnya kalau bukan karena takut kemiskinan, boleh dibunuh, tetapi mafhum mukholafah ini berlawanan dengan dalil manthuq :

  •      
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar“(Al-Isra : 33)
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqoh :
ولا تقل لهما اف
“Jangan engkau mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada orang tua, jangan pula engkau hardik”.
Yang di sebutkan hanya kata-kata kasar mafhum mukholafahnya, boleh memukuli, tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqohnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan sesuatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh :

“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (An-Nisa : 23)
Dengan perkataan yang ada dalam pemeliharaanmu, tidak boleh di fahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan tersebut di sebutkan sebab memang biasanya anak tiri di pelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh :
     
“Jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu) padahal kamu sedangberi’tikaf dimasjid” (Al-Baqoroh : 187)
Tidak dapat difahamkan, kalau tidak beri’tikaf dimasjid boleh mencampuri.
Keterangan :
Menurut kebanyakan ulam syarat melakukan I’tikaf ialah dimasjid, kalau tidak dimasjid tidak sah. Sebab perbedaan pendapat tersebut ialah apakah ayat tersebut diatas mempunyai mafhum mukholafah apa tidak.
Kebanyakan pendapat ulama itulah yang lebih kuat, mengumpulkan perkataan I’tikaf dengan perkataan masjid, karena masjid itu menjadi syaratnya:
E. Macam-Macam Mafhum Mukholafah
1. Mafhum sifat yaitu mempertalikan hokum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Seperti firman Alla SWT :
  
“Membebaskan hamba sahaya yang mu’min” (An-Nisa : 92). Maka kalau tidak mu’min tidak cukup.
2. Mafhum illat yaitu mempertalikan hokum kepada illat seperti mengharamkan minuman keras karena memabukan.
3. Mafhum syarat
4. Mafhum ‘adad yaitu mempertalikan hokum kepada bilangan yang tertentu, sabda Nabi SAW :”jika seekor anjing minum dari bejnamu, maka basuhlah bejana itu tujuh kali”, jadi kalau tidak tujuh kali tidak cukup.
5. Mafhum ghayah yaitu lafad yang menunjukan hokum sampai kepada ghayah (batas : halangan). Hukum yang terdapat sesudah perkataan yang menunjukan adanya batas selalu berlainan dengan hokum yang sebelumnya.
Contoh :

          
“Maka jika suami menceraikan istri (untuk ketiga kalinya), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya (suami), sehingga mengawini lagi suami yang lain” (Al-Baqarah : 230).
Jadi sebelum berkawin dengan yang lainnya, tidak halal lagi bekas suaminya.
6. Mafhum hasr (pembatasan).
Contoh :
       •          ••        •   
“Katakan tidak aku dapati dalam apa yang diwahyukan kepadaku bagi seseorang yang makan makanan, kecuali makanan itu berupa bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena daging babi itu keji, atau binatang sembelihan yang diserukan selain Allah” (Al-An’am : 145)
Jadi apa yang diharamkan hanya terbatas kepada empat macam tersebut, selainnya halal.

F. Kehujjahan Dalil Mafhum
“Mafhum muwafaqoh bias menjadi hujjah”
Hampir semua ulama berpendirian demikian, kecuali golongan zhahiriyah.
“semua mafhum mukhalafah bias menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab”.
Demikian pendapat kebanyakan ulama ushul.mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian apa perlu disebutkan? Juga dapat kita ketahui dari bahasa arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki ialah sifat yang disebutkan bukan yang lainnya.
Berlainan dengan pendapat di atas, maka Abu hanifah dan Ibnu hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bias menjadi hujjah (pegangan) menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya :
 Manthuq ialah hukum yang di ucapkan oleh lafad itu sendiri
 Mafhum ialah hukum yang tidak ditujukan oleh ucapan lafad itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafad tersebut.
 Manthuq dibagi dua :
Nash yaitu perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan lagi.
Zhahir yaitu sesuatu perkataan yang menunjukan sesuatu makna, tetapi makna itu bukan yang dimaksud.
 Mafhum dibagi dua :
Mafhum muwafaqoh yaitu apabila hukum yang diharamkan sama dengan hukum yang ditujukan oleh bunyi lafad
Mafhum mukholafah yaitu apabila yang difahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun naïf
.











DAFTAR PUSTAKA


 Wahab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Aman, Jakarta, 2003
 Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Fustaka Firdaus, Jakarta, 2007
 Departemen Agama RI, Al-Qur an Dan Terjemah, Mahkota, Surabaya.

No comments:

Post a Comment